Papuans Merenung

Mengapa saya tidak dilahirkan di Amerika atau di Eropa dengan kulit putih? Atau di Jepang dengan mata sipit dan kulit kuning? Atau sebagai orang Melayu? Mengapa saya dilahirkan sebagai orang Papua Barat berkulit hitam, rambut keriting di atas bumi Papua yang kaya-raya itu. Apakah Tuhan keliru menempatkan saya disana? Saya tidak bisa membayangkan tentang misteri kehidupan ini, selalu membayangi diri ini sebagai seorang anak manusia Papua Barat yang sedang mencari eksitensi (keberadaan) di dunia ini, ketika bangsa kolonialisme-Imperialis dan antek-anteknya terus melakukan eksploitasi di bumi yang sangat saya cintai.Pemukulan, pembunuhan, pembantaian dan kekerasan lainnya terhadap ibu, bapa, adik dan kakak dan terhadap paman. Mereka menginginkan kita tetap bodoh tidak sama sekali menyadari akan adanya ketidak adilan sosial, ekonomi, politik dan HAM yang dilakukannya. Itu semua, dengan mata telanjang telah saya saksikan. Sampai kapan akan terus terjadi. Disatu titik penantian, saya mengharapkan Bumi Papua yang aman bebas dari jiwa-jiwa kolonialisme, imperialisme itu. Haruskah saya duduk menangis dan meratapi sampai orang berkulit hitam rambut keriting di tanah Papua Barat lenyap ditelan bumi. Sebagaimana yang sedang terjadi saat ini. Apa yang harus saya lakukah??? Lawan..lawan dan lawan, karena kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri keadilan.

Kamis, 22 Januari 2009

Indonesia: Bangsa Sebuah "Imagined Communities"

Saya baru mengenail kata Imagined Communities melalui buku karya Benedict Anderson (cetakan kedua dengan bab-bab baru: 1991) ketika kuliah di Jawa, melalui buku ini cukup menginpirasi saya untuk melihat dan mengenal Indonesia. Terutama mengenai banyak hal yang sebenarnya selama ini kurang atau bahkan disembunyikan agar tidak diketahui masyarakat di negeri ini. Mengapa saya katakan disembunyikan, karena selama di sekolah dasar hingga SMU bahkan mahasiswa saya tidak pernah diajarkan, hanya disuguhi sesuatu yang indah. Barangkali begitulah yang namanya hegemoni yang dikenalkan Gramsci melalui bukunya negara dan hegemoni.

Anderson meneliti latar belakang historis bangkitnya kesadaran nasionalisme, perkembangannya, hingga bagaimana nasionalisme bisa menjadi seperti saat ini. Anderson menggunakan pendekatan kultural[1] pengaruh antropologi ia mendefinisikan bangsa atau nasionalisme ialah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.[2]

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang, karena para anggotanya terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lainnya, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu bahkan mungkin pula tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.[3]

Dengan mengarahkan perhatian pada media cetak, menunjukkan bahwa identitas nasional bukan sesuatu yang alamiah, yang sudah ada selama-lamanya (seperti sering diutamakan oleh ideologi-ideologi nasionalis), tetapi merupakan sesuatu yang baru dapat dibayangkan dengan adanya teknologi cetak sebagai pengedar gagasan bangsa sekaligus bukti untuk kemungkinannya (tidak ada perbedaan antara pembaca koran tertentu di Yogya dan di Medan, misalnya; mereka adalah satu komunitas).[4]

Anderson membedakan apa yang dinamakan bangsa (nation) tidak sama dengan negara (state). Indonesia sebagai negara adalah "warisan kolonial" (product of colonial legacy). Teritorial, administrasi, sistem hukum (walaupun sekarang banyak diubah) Indonesia adalah produk dan kelanjutan dari pemerintahan kolonial Belanda. Sementara bangsa sangat berbeda dari negara. Bangsa Indonesia adalah baru, bukan hasil bentukan Belanda, sekalipun kelahirannya dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Mentalitas birokrasi, cara memerintah, sistem administrasi, etc, semuanya adalah warisan kolonial.

Setelah membaca buku ini, sering saya bertanya siapakah bangsa Indonesia? Indonesia adalah bangsa yang multi-etnik, multi-ras, multi-agama, multi-ideologi, dan sebagainya. Namun saya tidak pernah jelas kalau ditanya, siapa sih orang Indonesia? Apakah orang Indonesia adalah orang pribumi? Siapa yang pribumi itu?

Martin Slama melalui karyanya Kacamatamu dan Kacamataku: Menguji Teori Secara Pragmatis menuliskan, bahwa Bangsa, kata Benedict Anderson, adalah sebuah 'imagined communities,' orang yang merasa atau dan akrab sekalipun tidak kenal satu sama lain ''kapitalisme media cetak." Dengan membaca koran kita tahu bahwa ada Semarang "di sana" tanpa perlu mempertanyakan apa dan siapa Semarang itu dan kita merasa akrab dengannya tanpa perlu hadir di sana. Ketiga, sekalipun demikian, tetap tidak jelas: Siapakah Indonesia itu? Bukankah selama ini Indonesia diinterpretasikan secara sewenang-wenang (arbitrary)? Mengapa sebagian orang mengatakan keturunan Cina bukan Indonesia? Padahal kalau dilihat, sebelum semua orang yang mengaku dirinya "Indonesia" memakai bahasa Indonesia, orang-orang Cina yang memakai bahasa Melayu pasar (yang kemudian dengan sewenang-wenang diambil alih oleh kaum nasionalis Indonesia menjadi bahasa kebangsaan!) sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi mereka.

Koran-koran bahasa Melayu pasar pada akhir abad ke-18 dan karya sastra yang diterbitkan Orang Cina peranakan. Bisa dikatakan, kalau dilihat dari segi ini, "Indonesia" pertama-tama dibentuk oleh orang-orang keturunan Cina yang bisa disebut kaum diaspora, membentuk kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan kebudayaan leluhurnya sekaligus tidak sama dengan kebudayaan di negeri di mana dia tinggal. Kebudayaan ini menghubungkan keturunan Cina di Bandung, Banjarmasin, Medan, Makasar, dll. Kebudayaan yang sama pula dipakai oleh "pribumi" yang terpecah-pecah dan berbeda-beda ini untuk menyatukan dirinya. Dalam perjalanan selanjutnya, pendiri kebudayaan ini justru disingkirkan, mengalami diskriminasi dalam segala bidang.[5]

Martin Slama Indonesia adalah bangsa yang masih sangat muda. Jika orang Papua, kalau mau dianggap elemen dalam Indonesia, mau lepas dari Indonesia, tentulah mereka tidak cukup kuat mengindentifikasikan dirinya terhadap Indonesia. Soalnya kemudian adalah mengapa bisa terjadi? Banyak argumen mengatakan karena mereka diperas, dianiaya, dan disiksa terus oleh rejim Orde Baru yang memerintah Indonensia. Namun, pendapat ini dibantah yang lain dengan mengatakan, daerah lain juga diperlakukan seperti itu namun tidak minta pemisahan diri.
Kalangan terdidik Papua merasakan perbedaan sama seperti perasaan yang sama diperlihatkan oleh orang macam Dr. Soetomo. Ketika dididik Belanda, tiba-tiba muncul kesadaran bahwa dia memiliki kebudayaan sendiri yang integritasnya tidak lebih rendah dari kebudayaan Eropa. Papua sudah minta merdeka. Demikian pula Aceh. Timor Leste bahkan sudah merdeka. Sekarang saatnya berpikir ulang tentang keindonesiaan.

Bahwa bangsa dan negara adalah dua hal yang berbeda. Negara Indonesia sangat boleh jadi akan terpecah-belah. Dipandang dari sisi politik realis, sangat sulit untuk tetap mempersatukan Indonesia. Kalau tidak sekarang, mungkin perpecahan itu akan terjadi kemudian. Tetapi sebagai bangsa, mungkin Indonesia akan bertahan lebih lama. Papua mau merdeka. Ingat, apa bahasa yang akan mereka pakai? Bahasa Indonesia! Lagu kemerdekaan mereka dinyanyikan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia pula yang menyatukan ratusan suku-suku kecil Papua. Aneh bukan? Sama seperti India, bahasa Inggris, bahasa penjajahnya, menjadi penyatu bagi rakyat India.[6]

Paham kebangsaan "semu" Indonesia
Di Eropa nasionalisme masih digunakan ketika mulai berdirinya negara bangsa modern di akhir abad 18. Kemudian sekitar awal abad 19 hingga awal abad 20 nasionalisme semakin mengkristal di kawasan Asia dan Afrika ditandai dengan proklamasi berdirinya negara bangsa setelah perang dunia II berakhir. Nasionalisme itu tumbuh dan berkembang sebagai bentuk perlawanan kepada kolonial, sebagai keberhasilan dari pendidikan yang lahir sebagai hasil dari propaganda kaum terpelajar agar masyarakat rela atau turut rela mengorbankan diri demi negara.

Berdasarkan kemauan itu, Hans Kohn, dalam bukunya Nasionalisme Arti dan Sejarah mengemukakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserakan kepada negara bangsa[7] Itu berarti sangat membenarkan pendapat Dakeday pada bagian pengatar Imamagined Communities karya Anderson, menuliskan bahwa nasionalisme Indonesia adalah suatu "Agama baru" kaum cendikyawan Indonesia pada awal abad 20 sampai pertengahan abad 20, seperti layaknya komunisme menjadi menjadi "agama baru" Eropa Abad 19 yang dengan susah payah disebarkan oleh kaum nasionalis ke masyarakat agar nasionalisme tetap berpijak pada negara.[8]

Dalam kontek itu, nasionalisme Indonesia yang disebar ke seluruh daerah dekolonisasi Belanda, seperti di Papua Barat yang lebih dahulu sudah terpengaruh oleh Belanda. Walaupun orang Papua yang secara etnis berbeda dengan orang Belanda maupun Indonesia memperebutkan status politik Papua Barat menjadi salah satu contoh sejarah kontemporer sebagai upaya aneksasi yang tidak menghargai orang Papua yang sejak lama sudah menghuni pulau itu.

Mengenai nasionalisme penyebaran Indonesia di Papua Barat. Indonesia berkeinginan menuntaskan cita-cita persatuan yang sentralistik atas dasar hubungan sejarah dan persamaan sejarah Papua dan Indonesia walaupun sebenarnya bermakna anakronisme berupaya menghilangkan nasionalisme orang Papua. Dengan begitu, Menurut Dr. George Junus Aditjondro yang dipertegas oleh Bambang Widjojanto dalam buku Cahaya Bintang Kejora, bahwa telah terjadi "penggelapan" atas nasionalisme orang Papua di dalam historiografi Indonesia. Sedangkan orang Papua sendiri mengalami krisis indentitas sejarahnya, terutama menyangkut kebanggaannya pada sejarah, karena memang di sekolah tidak diajarkan [9] di sekolah.

Sejarah dan Patriotisme
Banyak pihak yang berperan dalam memperkuat integrasi politik erat kaitannya dengan menumbuhkembangkan paham kembangsaan atau patriotisme. Dalam hal itu pihak akademisi telah sangat berpartisipasi. Terkadang ada kekeliruan yang dilakukan pihak akademisi yang mana kadang mereka terjebak pada pemahaman mengenai nasionalisme yang sempit dengan menjunjung tinggi nasional Indonesia, sehingga kurang jernih untuk menggali untuk menjelaskan mengenai nasionalisme dalam konteks kesukuan (etno-nationalism) yang ada di Indonesia.

Hal itu bisa terjadi karena sejarah Indonesia yang cenderung bermakna elitis selalu dilihat dari sisi pemenangnya saja seperti dikatakan seorang dosen sastra di Universitas Sanata Dharma, bahwa "sejarah kita sejarah satu arah, sejarah para pemenang, pikiran lain dalam sejarah dibungkam"[10]. Ungkapan itu membenarkan adanya pembungkaman terhadap sejarah lokal di Indonesia. Dengan mengutamakan kebenaran yang sepihak, lalu tidak mengakui kebenaran dari pihak lain. Kelompok peneliti maupun akademisi memprogagandakan istilah separatis untuk menunjuk bangsa yang justru mulai mencari kebenaran sejarah yang telah terbungkam demi kesatuan yang "semu" meminjam istilah Benedict Anderson komunitas-komunitas terbayang (Imagened Communities).

Dalam konteks itu, sejarah Papua yang terbungkam dan lebih dilihat dari prespektif pemenang (Indonesia sentris) telah membuktikan, bahwa para diktator dan para politisi menganggap bahwa sejarah sebagai alat untuk mengembangkan patriotisme yang dapat didasarkan atas penyelidikan yang tidak kritis dan bahkan pengajaran dengan dilakukan dengan sedikit mengorbankan kebenaran[11]

Mengenai hal itu, subyektivitas, atau Indonesia sentris untuk mengkaji dasar-dasar perjuangan Indonesia dalam upaya memasukkan Papua Barat ke dalam NKRI. Dengan kata lain kaum akademik sebagai ujung tombak propaganda selalu mengatakan "merebut kembali" Papua Barat, tanpa ada koreksi atau mencermati kekeliruan yang sangat memungkinkan bermakna ambisi dan aneksasi yang telah ditularkan elit politik kita. Sehingga kelompok akademik pun terjebak pada lingkaran setan yang membenarkan dan mengajarkan sesuatu kekeliruan. Seperti telah terjadi dalam pemerintahan Orde Baru, dengan mengajarkan sejarah yang tidak benar, mengenai Gerakan Tiga puluh September, Supersemar dan Serangan Umum Satu Maret yang sampai saat ini masih terjadi tarik ulur. Begitu juga nasibnya sekarah Papua yang tidak mendapat sentuhan di sekolah.

Membuka Faham Kebangsaan Sesat Indonesia
Anderson telah membantu kita membeda apa yang dinamakan bangsa (nation) tidak sama dengan negara (state). Indonesia sebagai negara adalah "warisan kolonial" (product of colonial legacy). Sementara bangsa sangat berbeda dari negara. Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan tak akan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka[12]

Bangsa Indonesia adalah baru, bukan hasil bentukan Belanda, sekalipun kelahirannya dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Mentalitas birokrasi, cara memerintah, sistem administrasi, dll, semuanya adalah warisan kolonial.

Rentan sebenarnya tidak memperhatikan ukuran-ukuran obyektif, seperti bahasa, dan batas geografi juga sejarah. Dalam tataran persisnya ukuran-ukuran obyektif itu yang dialami sebagai pengalaman dan dibangun antara orang-orang untuk meyakini diri sebagai suatu bangsa. Propaganda sejarah, bahkan ia adalah sejarah yang diselewengkan, adalah sebuah pengalaman obyektif. Dan propaganda semacam itu sungguh efektif dalam sebuah bahasa dominan yang dapat dimengerti oleh mereka yang hendak dikuasai.[13]

Sejarah nasional Indonesia telah memanipulasi sejarah lokal di seluruh Indonesia, misalnya mengenai sejarah Papua Barat. Selama ini sejarah Papua dipandang melalui Indonesia sentris demi kesatuan integritas politik, karena memang propaganda sejarah melalui sebuah bahasa dominan (bahasa Indonesia) yang telah dimengerti oleh mereka yang hendak dikuasai.

Mengenai manipulasi sejarah lokal sebenarnya bisa direkontrusi kembali, terutama oleh sejarawan lokal dengan melepaskan kacamata historiografi Indonesia yang telah mengaburkan sejarah lokal. Dalam konteks ini, mengenai Papua Barat bisa dikontruksi kembali dari pengalaman obyektif orang Papua. Menurut Dr. Benny Giay bukti sejarah yang diselewengkan:
Orang Papua baik pribadi maupun kelompok, yang menjadi pelaku dan korban sejarah Papua adalah dokumen hidup. Selain mereka, orang-orang non Papua baik pejabat pemerintah maupun masyarakat biasa yang telah bekerja di tanah papua sebagai aparat keamanan maupun sipil adalah dokumen-dokumen sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka dapat dijadikan dokumen dan saksi sejarah atau saksi hidup yang dapat dihadirkan. Karena dokumen sejarah Papua yang dibengkokkan itu ada di dalam: (a) pemahaman diri orang Papua, (b) ingatan orang Papua baik pribadi maupun kelompok; dan (c) nurani dan ingatan orang non- Papua baik pejabat pemerintah maupun swasta yang pernah dan sedang berjuang di tanah Papua; (d) filsafat sejarah orang Papua.[14]

Dengan begitu pengalaman obyektif akan menjadi dasar dari etno-nationalism telah menginspirasi tumbuhnya nasionalisme Papua Barat dengan OPM sebagai tonggak nasionalisme dan saat ini dengan kemajuan pendidikan kaum terpelajar telah semakin memperluas nasionalisme Papua Barat sebagai bentuk perlawanan terhadap imajinasi nasionalisme elit Jakarta[15] yang terus dipaksakan demi mempertahankan hegemoni kekuasaan Indonesia di Papua Barat.
*) Mahasiswa Universita Sanata Dharma Yogyakarta
------------------------------------------------------------------------------------------------Keterangan Referensi:
[1] Sardo, Meruntuhkan Paham Sesat Kebangsaan: Pokok - pokok Pikiran Lenin dan Stalin, Yogyakarta: Resist Book, 2005. hal. 10
[2] Benedict Anderson, Imagined Communities (komunitas-komunitas terbayang). Yogyakarta: Insis, 2001. hal. 8
[3] Benedict Anderson, op.cit. hal. 8
[4]http://kunci.or.id/esai/nws/09/martin_teori.htm.Martin Slama, Kacamatamu dan Kacamataku: Menguji Teori Secara Pragmatis: Martin Slamaadalah mahasiswa Program S3 di Universitas Wina, Austria. Sekarang menjadi peneliti tamu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
[5]Ibid.http://kunci.or.id/esai/nws/09/martin_teori.htm..Martin Slama, Kacamatamu dan Kacamataku: Menguji Teori Secara Pragmatis:
[6] Email all postings in plain text (ascii) to mailto:apakabar@radix.net?Subject=Re:
RETURN TO Mailing List & Database Center - http://www.indopubs.com/
[7] Hans Khon, Nasionalisme dan Sejarahnya, Jakarta, Erlangga. 1984. hlm 14.
[8] Tan Malaka dalam Tulisan Dhakeday pada Bagian pengnatar pada karya Bendedict Andersons, Imajined Communities, edisi Indonesia, Yogyakarta, Insit. hlm. Xvi.
[9] Dr. George Junus Adithonro. 2000. Cahaya Bitang Kejora, Jakarta Elsam. hal. x.
[10] hasil diskusi dengan Yoseph Yopie Taum, Dosen fakultas Sejarah Univewrsitas Sanata Dharma Yogyakarta.
[11] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah., Jakarta UI PRESS, 1981. hal. 1
[12] Bendedict Andersons, Imajined Communities, edisi Indonesia, Yogyakarta, Insit. hlm. 8
[13] Sardo, 2005. Meruntuhkan Paham Sesat Kebangsaan. Yogyakarta, Resis Book. Hal. 8-9.
[14] Dr. Benny Giay, 2000. Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua, Jaya Pura, Elsham Papua. hal 2 - 3.
[15] Elit Jakarta untuk menyebut kolektivitas cendikiawan yang menyebarluaskan nasionalisme kebangsaan. Kelompok itu oleh Dhakeday disebut-sebut sebagai kelompok yang menyebarkan nasionalisme ke kalangan bawah.

Read more...

Pendidikan dan Kesadaran Nasional Papua Barat

”Sangat menyakitkan hidup bersama bangsa kolonialis,
tetapi saya bersyukur dapat bersekolah dan mendapatkan
pendidikan dari kolonialis,
saya semakin mengerti bahwa kaumku sedang ditindas oleh kolonialis-imperialis,
sehingga saya semakin mengerti untuk melawan kaum kolonialis”[1]

A. Prolog
Perjuangan menentang kolonial secara terorganisir telah digerakan oleh kelompok terpelajar. Mengapa? Karena memang pengalaman di dunia menjadi potret sejarah bahwa kesadaran selalu lahir sebagai proses pendidikan ( Latin: e-ducare).[2] Melalui pendidikan orang menjadi kritis memahami persoalan dan sadar akan ketidak adilan, kekerasan langsung maupun tidak langsung[3] yang dilakukan oleh kaum kolonialis – imperialis.
Dengan maksut agar tidak akan lahir kesadaran nasionalisme dikalangan penduduka asli (terjajah), mereka (penduduk pribumi) diberi pendidikan yang memang tidak layak secara prasarana maupun terutama melalui muatan kurikulum yang isinya muatan politis hegemoni penjajaha/penguasa. hal itu dimaksutkan supaya penduduk pribumi tidak cerdas, kritis dan supaya lebih tunduk pada penjajah, pekerja sebagai kulih penjajah mengisi birorasi dan perusahan-perusahan kolonial-imperialis.Sama juga seperti halnya, kebijakan pendidian Belanda maupun Indonesia dipraktekan secara murni dan konsekuen agar univikasi dan asimilasi dapat terjadi bagi orang Papua.
Kalau kita boleh jadikan Belanda di Indonesia bagai pelajaran sejarah, maka disitu akan tampaklah bahwa nasionalisme Indonesia (Jawa) pada masa politik etis telah diawali kelompok terdidik. Saat ketika itu, walaupun praktek politik etik atau kesejateraan, dengan bersemboyan demi penyatuan Indonesia-Belanda (univikasi) dan pembauran orang Indonesia-Belanda menjadi warga negara Belanda (asimilasi).[4] Seorang Sejarawan Indonesia Moedjanto, (2003; 35) menuliskan mengenai politik etik bahwa “Konseptor politik “etika” yang terkemuka, Snouck Hurgronje menghendaki agar univikasi dan asimilasi dipraktekkan secara murni dan konsekuen. Mereka yakin, dengan politik semacam itu Indonesia akan terikat dalam kesatuan kerajaan Belanda secara wajar.”[5]
Bagaimana dengan pendidikan kolonial-imperialis di Papua Barat? ataupun politik otonomi ini, tentu saja sekolah dikelolah untuk kepentingan penjajah, namun rakyat Papua Barat semakin menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang sedang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat, bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas beda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan dan menyadari bentuk praktek meo kolonialisme Indonesia. Dengan begitu, kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.Pendidikan Belanda di Hindia Belanda dan Papua serta pendidikan Indonesia di Papua telah melahirkan kesadaran nasional.

B. Pendidikan Kolonial Belanda
Ketika menjajah Papua Barat, Belanda tidak banyak berperan membangun pendidikan. Hal ini lebih banyak dikerjakan Misi dan Zending yang melakukan pelayaan untuk kristenisasi melalu karya-karya sosialnya gereja. pendidikan modrnpun dikenalkan oleh kedua lembaga gereja di atas.
sedangkan pendidikan modern ala pemerintah Belanda mulai dibangun di Papua Barat sejak tahun 1940an. Sekitar tahun 1942 waktu itu Jepang menguasai seantero Asia (cita-cita Asia Raya) termasuk menduduki Indonesia. Papua Barat sebagai daerah yang dekat dengan kepulauan Pasifik menjadi daerah stategis Jepang untuk melawan Sekutu. Sebagai bagian dari sekutu, tugas Belanda adalah menghalau Jepang. Ketika itu, Belanda di Papua Barat kekuarangan personil untuk menghadapi Jepang dan juga termasuk untuk menangani berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk kepentingan dan kebutuhan itu, pada tahun 1944 Residen J.P. van Eechoud yang waktu itu terkenal dengan julukan “vader der Papoea,s” (Bapak orang Papua) mendirikan beberapa sekolah di Hollandia (Jayapura). Selain sekolah selain sekolha Pamong Praja di Hollandia ada juga sekolah pelayaran di Hamadi, sekolah tehnik di Kotaraja Jayapura dan Abepura, sekolah Pamongpraja di Yoka. Sekolah polisi di Base G, sekolah pertanian di Manokwari. Walaupun untuk kepentingan Belanda, namun intinya Belanda berupaya melakukan Papuanisasi[6] (menananmkan nasionalisme Papua). Dalam bulan Januari 1946, Pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah Pamong Praja di Kota Nicca (Kampung Harapan, sekarang). Jumblah siswa yang didik 400 orang antara tahun 1944-1949.
Meskipun sekolah-sekolah ini untuk kepentingan Belanda mengesploitasi Papua. Namun jutru telah melahirkan elit-elit politik terdidik di Papua[7] yang bankita menentang penjajah, menggantikan posisi dalam pemerintahan yang dipegang oleh orang Belanda. Mereka siap mengisi jabatan-jabatan dan lowongan pekerjaan di Papua.[8] Pemerintah Belanda mengirimkan sejumlah mahasiswa keluar negeri; antara lain ke negara Belanda, Australia, dan negara-negara di Pasifik. Mereka dikirim dengan tujuan untuk memperoleh pendidikan tinggi dan kembali untuk memimpin bangsanya. Salah satu mahasiswa yang dikirim keluar negeri (Negara Belanda) dalam rangka Papuanisasi itu ialah Frits Kirihio.[9]
Pemerintah Belanda yang memiliki sumbangan terhadap lahirnya nasionalisme Papua Barat terutama pada masa Residen J.P. van Eechoud. ketika itu, karena ada radikalisasi Indonesia, maka setiap orang yang pro-Indonesia ditahan atau di penjarahkan dan dibuang keluar Papua.[10] Tokoh-tokoh nasionalisme Papua Barat saat itu antara lain adalah tokoh-tokoh yang duduk dalam Dewan New Guinea Read, seperti Nicolas Jouwe, P. Torey, Markus Kaisepo, Nicolas Tanggahma, Eliezer Jan Bonai dan ada yang belum disebut di sini. Mereka adalah kelompok nasionalis terpelajar Papua[11] yang turut memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat lepas dari cengkraman kolonial. Selain itu, Beberapa tokoh nasionalis Papua Barat yang telah mendapat pendidikan Eechoud dan menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Marcus dan Frans Kaisepo, Nicolaus Joue, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Mozes Rumah inum, Baldus Mofu, Elieser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Maten Iundey, Johan Ariks, Heman Womsiwor dan Abdullah Arfan.[12] Melalui perantara mereka, rakyat Papua Barat menyampaikan berbagai pernyataan sikap politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Indonesia ke dalam Papua Barat (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua.

B. Pendidikan Kolonial Indonesia
Pendidikan sekolah banyak di buka Indonesia, namun pencerdasan rakyat tidak terjadi selama tahun 1963 -1988. Sekolah yang di bangun pemerintah Indonesia di Papua Barat sebagai tempat melalukan Indonesianisasi agar asimilasi dan akulturasi demi memperkuat Integrasi dapat terjadi. Sementara saat itu kondisi Indonesia ribuan rakyatnya belum cerdas. Di Papua Barat lembaga pendidikan sekolah pemerintah Indonesia (Inpres), bukan tempat menkecerdasan melainkan mencuci otak orang Papua Barat, berperan sebagai lembaga untuk mensosialisasikan ideologi dan kebijakan penguasa. Muatan kurikulum mengarahkan kepada apa yang ingin dipasarkan oleh pihak penguasa,[13] menjelaskan bahwa: ”Kita melihat Universitas Cendrawasih yang didirikan oleh pemerintah RI pada tahun 1963 untuk mejujudkan agenda meng-Indonesia-kan Papua. Pejabat UNTEA di Papua, Rolls Bennet dan seorang pejabat lainnya yang diberi wewenang membidangi pendidikan, pada awalnya keberatan karena kawatir jangan-jangan pemerintah Indonesia memakai Universitas Cenderawasih untuk menghapus aspirasi Papua Barat merdeka.”[14] Karena itu sekolah tidak melakukan proses pencerdasan. Isi kurikulum dan corak pendidikan dasar disamakan dengan propinsi lain. Hal seperti ini, sebagai bentuk hegemoni penjajah Indonesia. Pendidikan Indonesia dii Papua Barat agar memperkuat integrasi. Pendidikan dasar dan tinggi yang dikelolah untuk mengisi lowongan kerjaan dalam pemerintahan telah menjadi tujuan utama.[15]
Ross Garnaut dan Chris Manning bahwa Pendidikan di Papua Barat telah berkembang dengan pesat di bawah pemerintahan Indonesia[16] Kedua intelektual itu menggunakan data-data tertulis yang ada di Jakarta, mereka laporkan bahwa disekolah-sekolah dasar pada tahun 1972 terdaftar 123. 700 murid, dua kali lebih banyak dari pada tahun 1961. Misi dan zending memiliki lembaga pendidikna yang lebih baik, dibanding pemerintah Indonesia di Papua Barat. Ini terbukti, meskipun banyak sekolah telah dibangun pemerintah jakarta, namun sekolah-sekolah yang dikelolah misi lebih mononjol, dan banyak murutnya dibandingkan dengan murid di sekolah negeri, seperti tulis Ross Garnaut dan Chris Manning, bahwa: “walaupun sekolah dasar negeri tumbuh dengan cepat, dalam tahun 1970 delapan puluh lima persen murid-murud masi terdaftar di sekolah-sekolah misi. Angka ini dibandingkan dengan propinsi-propinsi lainnya dimana kebanyakan murid sekolah dasar terdaftar di sekolah-sekolah negeri.”[17]
Ketertarikan masyarakat terhadap sekolah-sekolah Misi terkait erat dengan pendekatan Misi disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Dengan begitu sangat dipercayai masyarakat dibandingkan sekolah Pemerintah Indonesia. Lagi pula, Misi telah lama dan sudah mempengaruhi pembangun peradaban masyarakat Papua Barat. Selain mutu dan kualitasnya lebih baik daripada pendidikan yang dikelolah pemerintah Indonesia. Mutu dan kualitas tertinggal, karena sarana prasarananya tidak bagus guru pun tidak disiapkan dengan baik. Tidak seperti pendidikan di daerah kota, seperti di Jawa dan sebagainya. Diskriminasii seperti itu nampak dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. ”Walaupun jumblah murud sekolah dasar di daerah pedalaman di kabupaten Jayawijaya bertambah delapankali lipat diantanra tahun 1961 dan tahun 1969, jumblah murid Jayawijaya hanya sepertiga angka rata-rata propinsi pada tahun-tahun belakangan ini. Dalam tahun 1969, 6.400 dari 6.600 murid yang terdaftar di sekolah-sekolah di Jayawijaya, adalah murid sekolah dasar.”[18]
Sekolah Inpres yang dibangun pemerintah, tidak dilengkapi guru maupun fasilitas belajar, sehingga sekolah-sekolah itu dibiarkan begitu saja sampai ditumbuhi ilalang larena tidak ada guru, selain guru didikan Misi. Guru-guru pendatang bertumpuk di kota-kota melalui sogokan kepada kepala dinas dan kepala departemen setempat.[19] Bagi mereka, pendidikan yang sekarang di peroleh di sekolah dasar tidak bermanfaat”[20] karena tidak mencerdaskan.
Universitas Cenderawasih didirikan dalam tahun 1963, sebelum secara sah Indonesia berintegrasi dengan Papua. Setelah Peperara 1969 sudah lebih dari lima puluh prosen mahasiswa telah masuk Fakultas Hukum dan sebagian kecil belajar di Fakultas Pertanian atau Fakultas tehnik pada tahun 1970. Universitas ini menghadapai banyak masalah seperti Universitas lainnya di Indonesia ( terutama di daerah). Mutu pendidikan tidaklah tinggi, kurang dana, buku-buku, perlengkapan dan fasilitas-fasilitas lain.[21] Pendidikan formal Indonesia belum diintegrasikan dengan cara hidup masyarakat di desa-desa. Pendidikan sekolah menengah, kejuruan dan pendidikan tinggi, serta usaha-usaha berbagai departemen dan organisasi-organisasi lainnya yang bertujuan mempersiapkan tenaga trampil yang berguna dalam perekonomian modern kurang terkoordinatif. Dengan begitu jelas bahwa usaha pemerintah untuk meningkakatkan kuantitas pendidikan di Papua Barat tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. Ini dapat dilihat misalnya dari kurangnya tenaga pendidikan, sehingga banyak siswa yang hanya menempu sekolah dasar. Sekolah dikelolah untuk kepentingan menjalankan roda pemerintahan di Papua Barat, namun karena rata-rata mayoritas masyarakat yang sekolah pada saat itu entah disengaja atau tidak hanya mencapai sekolah dasar sehingga banyak dari mereka hanya sebagai pekerja kasar.
Sekolah di Papau Barat bertujuan untuk melalukan Indonesianisasi dengan cara asimilasi dan akukturasi demi memperkuat Integrasi yang mengalami pendidikan pada jaman awal aneksasi Papua mengemukakan mengenai pelaksanaan pendidikan Indonesia bahwa:“RI yang banyak membuka sekolah di tanah Papua, tetapi sebagai alat untuk mengindonesiakan orang Papua. Jadi tujuannya itu Indonesianisasi. Lihat saja banyak orang Papua yang sedang mengangur setelah tamat dari ratusan sekolah yang dibuka oleh Indonesia. Lembaga pendidikannya melimpah tetapi Papuanisasi nol. Karena sasaran pendidikannya itu ialah Indonesianisasi tadi.”[22]
Anak-anak Papua tidak bisa belajar dengan baik dan tenang, karena operasi-operasi militer mengancam kebebasan dan telah mengorbankan ribuan orang Papua termasuk sisiwa yang belajar. Dalam kondisi penindasan seperti itu lahirnya gerakan perlawanan menolak Indonesia di Papua Barat. Benih-benih nasionalisme Papua Barat merembet dari para serdadu didikan Belanda kepada mahasiswa Universitas Cenderawasih. Dengan begitu UNCEN menjadi salah satu tempat lahirnya pejuang dan tokoh-tokoh nasionalis orang Papua Barat. seperti mahasiswa bernama Jakop Pray, dan juga seorang dosen mudah Uncen Arnold Ap dan beberapa yang lain tidak disebutkan semua di sini. Di bawah pimpinan mereka berbagai aksi dilakukan untuk menentang NKRI. Juga demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti kulkas dan mesin cuci listrik - ke tempat asal mereka. (Longginus Pekey, Ketua Komunitas Pendidikan Papau)

Pustaka
[1] Diary Pribadi,
[2] Educare Asal kata dari bahasa Latin artinya mengiring keluar.
[3] Jamil Salmi, Violence and Democratic Society, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm 32-33. Ia mengemukakan bahwa kekerasan langsung merupakan tindakan yang menyerang fisik atau fisikologis seseorang secara langsung. Yang termasuk dalam kategori kekerasan ini adalah semua bentuk pembunuhan individu atau kelompok, seperti pemusnaan etnis, kejahatan perang, pembunuhan masal dan juga semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau fisikologi seseorang (penusiran paksa terhadap suatu masyarakat, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan dan penganiayaan, perampokan dengan pemberatan) semua tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak benar yang menggangu hak-hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak untuk hidup. Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakatatau intitusi) yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan tersebut. Disini terdapat dua sub kategori yang bisa dibedakan yakni kekerasan dengan pembiaraan dan kekerasan yang termediasi
[4] G. Moedjanto, Dari Pembentukan PAX NEDERNALNDICA sampai NEGARA KESATUAN REPOBLIK INDONESIA. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma. 2003, hlm. 36
[5] Ibid. G. Moedjanto, 2003, hlm. 35
[6] Benny Giay, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Seputar Emansipasi Orang Papua, Jayapura Elsham Papua. 2000. hlm. 84-85.
[7] Jopari. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hal. 30
[8] Agus Alua, Papua Barat : Dari Pangkuan ke Pangkuan. Jayapura: Sekertariat Tim 100. 2000, hlm. 21. (Baca juga Giya, 2000: 85-86)
[9] Jhon Djopari.Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hlm. 48 (baca juga Beny Giay, 2000: 86)
[10] Jopari. Op.cit. 1993, hlm 30,
[11] Syamsuddin Haris dkk. Indonesia di Ambang Perpecahan. Jakarta:Erlangga, hal. 185
[12] Jopari Op.cit, sumber asli dari Ernest, Urecht, Papoeas in Opstand, Uitgeverij Ordeman, Roterdam, 1978, hlm 43-46.
[13] Beny Guay (2001; 97)
[14] Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm. 97, (baca juga Poerbakawattja, R.S. 1977;. 20)
[15] Ross Garnaut dan Chiris Manning. Perubahan Sosial Ekonomi Irian. 1979, hlm 35.
[16] Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34. Dua ilmuan dan peneliti di Papua Barat kurang lebih satu tahun dua bulan, mengenai pendidikan dan meberikan komentar atas pelaksanaan pendidikan Indonesia di Papua Barat,
[17] Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34.
[18] Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34-35
[19] Frits Ramandey,. 2005, hlm. 124
[20] Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning, 1979, hlm 35-36.
[21] Ross Garnaut dan Chiris Manning, Op.cit. 1999, hlm. 40
[22] Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm 85

Read more...

Arnod AP

Arnod AP
Spririt Of Cultural Papua: Aku ingin rohku tetap hidup di bumi Mambesak, Papua.

Followers

Tan Malaka

Tan Malaka
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Namun, betapa tragisnya negara Indonesia, belum mengakui Tan Malaka sebagai Pahlawan revolusi kemerdekaan. Sampai saat ini ia dilupakan meskipun jasanya sangat besar bagi revolusi kemerdekaan di negeri ini.

Kalmarx

Kalmarx
Das Kapital

  ©Template by Dicas Blogger.