Papuans Merenung

Mengapa saya tidak dilahirkan di Amerika atau di Eropa dengan kulit putih? Atau di Jepang dengan mata sipit dan kulit kuning? Atau sebagai orang Melayu? Mengapa saya dilahirkan sebagai orang Papua Barat berkulit hitam, rambut keriting di atas bumi Papua yang kaya-raya itu. Apakah Tuhan keliru menempatkan saya disana? Saya tidak bisa membayangkan tentang misteri kehidupan ini, selalu membayangi diri ini sebagai seorang anak manusia Papua Barat yang sedang mencari eksitensi (keberadaan) di dunia ini, ketika bangsa kolonialisme-Imperialis dan antek-anteknya terus melakukan eksploitasi di bumi yang sangat saya cintai.Pemukulan, pembunuhan, pembantaian dan kekerasan lainnya terhadap ibu, bapa, adik dan kakak dan terhadap paman. Mereka menginginkan kita tetap bodoh tidak sama sekali menyadari akan adanya ketidak adilan sosial, ekonomi, politik dan HAM yang dilakukannya. Itu semua, dengan mata telanjang telah saya saksikan. Sampai kapan akan terus terjadi. Disatu titik penantian, saya mengharapkan Bumi Papua yang aman bebas dari jiwa-jiwa kolonialisme, imperialisme itu. Haruskah saya duduk menangis dan meratapi sampai orang berkulit hitam rambut keriting di tanah Papua Barat lenyap ditelan bumi. Sebagaimana yang sedang terjadi saat ini. Apa yang harus saya lakukah??? Lawan..lawan dan lawan, karena kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri keadilan.

Sabtu, 21 Februari 2009

Mari Rebut Kembali Pasar.

Peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat Papua hingga sampai saat era modern ini perlu mendapat perhatian penuh. Selama ini orang Papua asli hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Sementara mereka sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan hidup sejaterah dan makmur. Kalau kita mau jujur, amati dengan cermat mengenai kehidupan orang Papua asli di bidang ekonomi, mereka saat ini nyaris terasing di negeri mereka sendiri. Meskipun saat ini beberapa kota di Papua tidak berbeda dengan kota lain di Indonesia. Misalnya di Jayapura orang dengan mudah menemukan hotel berbintang, kawasan pertokoan yang berjejer-jejer di Kota Jayapura, kawasan Entrop, Hingga Abepura.

Kalau jalan-jalan ke Pasar, di sana di padati pedagang. Namun mama-mama orang Papua asli sendiri tidak memiliki tempat yang layak dalam melalukan aktifitas dagang. Tokoh- Swalayan, Restoran siap saji, dan warung makan bertebarang dimanan-mana. Ironisnya, lebih sulit mencari orang asli Papua yang bekerja di sejumlah sentra perekonomian di Pasar. Mereka hanya berjualan kebutuhan sehari-hari. Mama-mama hanya berjualan sayuran, ubi (ipere:Wamena) dan pekerjaan itu tidak rutin dilakukan.

Matahari, mendung dan hujang diterima mereka. Sayur menjadi layu terkena mata hari dan bahkan kadang mereka menerimah resiko barang dagang di hancurkan Polpepe karena mereka jualan di tempat-tempat yang tidak diperbolehkan pemerintah. Tetapi bagi mereka sangat strategis. Lagi pula di pasar mereka tidak ada tempat yang layak, karena kalah bersaing. Di kebanyakan pasar tradisional, masih banyak terlihat orang asli Papua berjualan di los Pasar. Akan tetapi di pasar kaget, los pasar dipadati pendagang pendatang, sedangkan pedagang asli Papua pada umumnya berjualan di telaras pasar atau di emperan toko. (Baca : ekspedisi Kompas, 123). Jari tangan kita cukup untuk menghitung orang Papua Asli yang bekerja di satu toko, kios, warung makan, atau toko swala. Lebih sulit lagi menemukan orang asli Papua (mama Papua) yang memiliki usaha sekelas itu. Inilah sebuah tantangan dan perjuangan yang dihadapi masyarakat asli penduduk Papua.

Ini adalah wajah cara bisnis mama penduduk asli di tanah Papua yang dikuasai penduduka pendatang. Menurut ekpedisi Kompas tagub 2007 lalu, dituliskan bahwa Warga bugis, Buton, dan Makasar lebih banyak bergiat di sektor perdagangan sedangkan warga Menado, Toraja, dan Jawa di birokrasi pemerintahan. Orang Papua sendiri amat mendominasi dalam nirolrasi dan formasi pegawai negeri sipil di Papua. Akan tetapi disektor perekonomian orang asli Papua tenggelam.

Menurut Ketua Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, Albert Rumbekwan “Ketidak berdayaan orang asli Papua disektor perekonomian mereupakan fenomenan yang terjadi saat ini di berbagai kota di Papua” Ia mencatat, di kawasan pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di Papua seperti di Jayapura, Timika, Sorong, dan juga di Merauke – para pendatang mejadi aktor ekonomi yang dominan.

Kalua melihat kehidupan sosial orang asli Papua mereka terdiri dari petani, peternak dan nelayan. Namun sampai saat ini di erah Otonomi yang sudah bergulir selama 8 tahun, hanya sedikit dapat dihitung dengan jadi mereka yang beternak, nelayan dan menjadi petani? Petani, nelayan dan peternak yang sukses di Papua pun kebanyakan adalah para pendangan.

Disitulah, seharusnya menjadi titik perhatian pemerintah, dan lembaga swadaya serta Agama dan kita semua yang peduli. Memberikan dorongan, pencerahan dan skill serta modal untuk menghidupkan usaha kecil dari potensi luar biasa yang mereka miliki. Semua elemen di Papua yang di sebutkan di atas memiliki pekerjaan rumah yang berat. Pekerjaan itu adalah memformasi ekonomi kerakyatan yang sesuai dan cocok bagi pengembangan ekonomi masyarakat asli Papua. Menarik mereka terlibat secara langsung ataupun tidak tidak langsung berperan mengambil bagian untuk mengakat potensi ekonomi daerah. Menyadari hal ini maka kitanya menjadi penting untuk meningkatkan sisitem usaha atau bisnis yang dilakukan mama-mama Papua di pasar. Dengan harapan memberikan inspirasi yang menjadi kerja sama berbagai pihak untuk melawan keterasingan dan kemiskinan di negeri Papua yang kaya dan raya namun direbut orang asing.
By. Papuans

Read more...

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul ”Nasionalisme Papua Barat tahun 1961-1988”memiliki tujuan utama mendiskripikan dan menganalilis tiga permasalahan pokok, yaitu: 1. Sebab-sebab apa yang menjadi faktor pendorong tumbuh kembangnya nasionalisme bangsa Papua; 2. Apa dasar perjuangan Bangsa Papua atau ras Melanesia ingin mendirikan negara Papua Barat lepas dari NKRI; 3. Bagaimana upaya perjuangan bangsa Papua Barat dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita nasionalismenya yaitu membentuk negara Papua merdeka.
Dalam penulisan skripsi ini menggunakan metodologi penulisan sejarah, yang mencakup empat tahap yakni metode mengumpulkan data (Heuristik), metode analisis (verivikasi dan interpretasi), pendekatan multidimensional (politik, pendekatan sosial ekonomi, pendekatan sosial budaya, pendekatan psikologis), dan penulisan sejarah (historiografi). Penulisan skripsi ini bersifat deskritif analitis.
Hasil penelitian ini adalah.1. Lahirnya Nasionalisme Papua pada jaman Belanda disebabkan karena karena adanya dua faktor, yaitu: pertama faktor kekuasaan dan penjajahan Belanda, seperti: a. ketertindasan Bangsa Papua pada masa Belanda;b. Pengaruh Zending dan Misi di Papua Barat pada masa Belanda; c. Pendidikan pada masa Belanda; d. kebijakan politik kolonial; e kesadaran para intelektual dan rakyat Papua membentuk negara Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1969 dengan simbol-simbol negara, yaitu: Bendera: Bintang Kejora, Lagu Kebangsaan: Hai Tanahku Papua, Lambang Negara: Burung Mambruk, Motto Negara: ONE PEOPLE ONE SOUL. Kedua faktor ideologia masyarakat Papua yaitu adanya gerakan korgo seperti, Koreri di Biak, kargo di Mimika, Kasep di Nimboran, Simson di Sarmi, Gerakan Reni, gerakan Konor dan gerakan Nyowomos. Gerakan nasionalisme pada Jaman Belanda berakhir dengan dideklarasikannya negara Papua Barat pada 1 tanggal 1 Desember 1961.
2. Indonesia berhasil melakukan penghancuran terhadap negara Papua, namun perjuangnan melawan kolonialisasi Indonesia terus secara masif dilakukan karena didorong dasar perjuangan, yaitu: a. Dasar Hak; b. Dasar Budaya dan Identitas Kultural; c Perjuangan atas Dasar Latar Belakag Sejarah; d Dasar Perjanjian New York 15 Agustus 1962; e Perjuangan atas Dasar PEPERA 1969; f. Tanah Bagi Bangsa Papua adalah ”Mama”; g. Ketertindasan Bangsa Papua pada masa Indonesia yang melipituti: Perampasan dan eksploitasi terhadap tanah Papua Barat, pelanggaran HAM: pembunuhan dan pembantaian Bangsa Papua, serta keterjajahan sosial ekonomi, politik dan budaya Papua.
3. Adapun bentuk-bentuk ekspresi nasionalisme Papua menentang Indonesia, memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Papua Barat yang terjadi tanggal 1 Desember 1961 yaitu tampak dalam berbagai gerakan dalam tahun 1964-1988 dengan cara, mengarakan perjuangan pada pendirian organisasi politik modern. Melakukan perjuangan tanpa kekerasan dengan pengibaran Bendera dan lintas batas mencari suaka maupun dengan cara perjuangan bersenjata.


Read more...

Kesimpulan Skripsiku:Nasionalisme dan Gerakan Kebangsaan Papua 1961-1988






A. Kesimpulan
Nasionalisme Papua di Papua Barat tumbuhnya dan berkembang secara khas telah dinyatakan melalui gerakan millinerian, mesianic dan “cultus cargo” sebagai respon masyarakat pribumi terhadap dominasi kolonialisme/imperialisme. Saat itu terhadap penjajah Belanda yang “terkenal di kawasan Asia sebagai penguasa kolonial yang paling kejam dan serakah”, menyita tanah, penghisapan penduduk asli yang tak kenal belas kasihan, diskriminasi ras, dipertahankan dengan sengaja keadaan kesehatan yang buruk, “ Isolasi Budaya”.

Pendidikan jaman Belanda, meskipun dipraktekan agar univikasi dan asimilasi terjadi agar eksitenisasi dan eropanisasi terus terjasi, namun jutru telah membangkitkan kesadaran nasionalisme penduduka asli (terjajah). Lahirny nasionalisme Papua ditandai dengan hadirnya tokoh-tokoh terpelajar yang menggagas nasionalisme Papua dan turut memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat lepas dari cengkraman kolonial denga membetuk Dewan Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Raad) dari tanggal 18 – 25 Februari 1961 Pada tanggal 5 April 1961 Nieuw Guinea Raad, dan melakukan kongres Papua Barat I, 19 Oktober 1961 yang kemudian mendeklarasikan perangkat kenegaraan seperti: (1). Bendera Bintang kejora sebagai bendera bangsa Papua. (2). lagu, Hai Tanahku Papua Barat sebagai lagu kebangsaan Papua. (3). Lambang Negara: Burung Mambruk, (4) semboyan: One People One Soul. Kemudian mendeklarasi Papua Barat 1 Desember 1961, tepat pada jam 08.10. di Jl.Irian,d I halaman Gedung kesenian Papua Barat yang pada waktu itu adalah gedung Nieuw Guinea Read, dilakukan pengibaran Bendera Papua Barat berdampingan dengan Bendera Kerajaan Belanda dan dinyanyikan lagu kebangsaan kedua negara Belanda ("Wilhelmus"). dan Papaua Barat (Hai Tanahku Papua) dikumandangkan pertama kalinya.

Dasar pejuangan kemerdekaan Papua Barat terhadap Indonesia, bahwa kemerdekaan adalah hak. Kemerdekaan Negara Papua telah dianeksasi Indonesia, meskipun orang Papua sebagai suatu bangsa memiliki hak untuk merdeka, menata diri dan menentukan nasib etnisnya kemasa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih manusiawi dan lebih lestari dari berbagai ancaman pemusnaan, penindasan, pembantaian sistematis, dll, sebagaiman amanat pembukaan UUD 1945, yang berbunyi “bahwa kemerdekaan adalah hak segalah bangsa, maka penjajahan dunia harus di hapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri keadilan” kemerdekaan Papua Barat terus dilakukan dengan amant hukum internasional, yakni Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia.

Setelah beintegrasi, Indonesia mewarisi praktek-praktek kolonial- imperialis, mempertahankan hegemoni dan penindasan di Papua Barat mengacam musnahnya identitas etnik dan budaya Papua, karena itu telah melahirkan perlawanan dan penolakan terhadap Indonesia. Lagi pula, mempertahanakan Papua atas dasar: Pertama: Papua Barat adalah bagian dari Kerajaan Majapahit. Kedua: Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pada jaman dahulu merupakan daerah jajahan dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah "Indonesia Bagian Timur". Ketiga: Papua Barat adalah bagian jajahan bekas Hindia Belanda. Keempat: Soekarno yang anti imperialisme barat ingin menghalau bangsa barat yang masih berkoloni di sekitar Indonesia (ingat: "Ganyang Malaysia"), dan mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat bagian dari Hindia Belanda, tampak bukanlah alasan mendasar hanya merupakan Imajinasi.

Semua argomen itu terasa hambar karena tidak berasal dari pengalaman nyata orang-orang Papua sendiri dalam berintegrasi dengan negara repoblik Indonesia yang diprokalamsikan 17 Agustus 1945 sebenarnya tidak memliki dasar yang kuat untuk membendung keinginan rakyat Papua Barat mengeluarkan kekuasaan Indonesia dari negeri mereka, karena beberapa poin penting yang menjadi dasar perbedaan sejarah sebagai tampak pada a) Papua barat Diproklamirkan lepas dari hindia Belandan dan RIS 1949 b. Dalam menentang Belanda dan Fasisme Jepang. c. Papua Barat memiliki identitas negara. d) Sejak Indonesia datang ke Papua Barat telah terjadi penolakan. Meskipun akhirnya, konspirasi politik Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB tejadi dalam Perjanjian New York, 1962 yang menyepakati pelaksaanaan PEPERA 1969 yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan kesepakatan Internasional, di seting oleh Indonesia, telah dibahwa melalui militer dengan mengabaikan Hak keamanan dan kemerdekaan Papua dan Indonesia memenangkan Wilayah Papua sebagai milik Indonesia secara de fakto dan de yure, namun perjuangan kemerdekaan terus dilakukan menuntut pelurusan sejarah agar dilakukan referendum yang lebih bermatabat.

Tanah sebagai dasar perlawanan keluar dari NKRI, karena tanah bagi orang Papua sebagai ukuran bagi harga diri telah menyatu dengan manusia baik lahir maupun batin, sebagai rumah yang memberikan perlindungan akan kehidupan, dan arwah tempat tinggal nenek moyang yang merupakan sumber kehidupan manusia yang semakin dirusak. Sejak awal kehidupan mereka, masyarakat, rakyat Papua Barat dekat dengan tanah dan alam mereka sehingga diyakini bahwa tanah adalah mama mereka, misalnya dalam filisofis suku Mee, mengatakan maki kouko akukai (tanah adalah Ibu), Orang Amungme juga mamahami tanah sebagai ibu kadung, dan orang Nimboran percaya bahwa tanah diciptakan oleh seorang nenek tua, sedangkan bagi orang Humbuluk tanah dikonotasikan sebagai rahim perempuan atau beteh.

Di atas tanah Papua kekerasan militer dalam tahun 1962 - 1988 meninggalkan memoria passionos, tumbal integrasi karya militeristik ternyata jutru membangikitkan roh perlawanan rakyat dan anti Indonesia semakin tumbuh dan meluas. Semakin berkemang kesadaran, bahwa proses integrasi Papua dalam pelukan ibu pertiwi Indonesia ternyata melahirkan beban sejarah. Bagi takyat Papua. Trikora (1961), perjanjian New York (1962) maupun Pepera (1969) dan resolusi PBB Nomor 2504 bukan komitmen dekolonisasi untuk membebaskan rakyat Papua dari Penjajahan Belanda, melainkan proses Re-Kolonisasi Tanah Papua oleh Indonesia.

Indonesia mengganti kekuasaan Belanda, juga menganti seluruh stuktur pemerintahan di Papua Barat, meskipun secara atminitrasi pemerintah Indonesia meneruskan warisan kolonial Belanda. Birokrasi di Papua Barat di tahun 1960-an hingga 1980-an di duduku aparat militer. Bupati, Camat hingga lurah di pimpin oleh militer sehingga situasi politik di Papua tidak berjalan sebagai usaha membangun. Melainkan upaya menenangkan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Dia antara tahun itu, Gubernur, Camat, Lurah dan Bahkan kepala suku bila melakukan upaya membangun masyarakat dengan disesuaikan dengan konteks Papua maka militer dan pemerintah Indonesia mencurigai sebagai gerakan makar, separatis kemudian menjadi incaran militer.

Pelanggaran HAM terus terjadi tanpa perna diukik dan bahkan untuk menyelesaikanpun tidak terjadi. Demi integrasi, orang Papua tidak diperlakukan sebagai manusia yang punya akal pikiran sehat. Hak asasi mayarakat Papua Barat tidak dihormati secara wajar dan manusiawi hanya karena demi keutuhan negara kesatuan Indonesia, masyarakat Papua Barat di intimidasi, diperkosa, dipukul, dan ditahan tanpa melalui proses hukum; bahkan dibunuh dan dibantai seperti mangsa yang diterkam harimau lapar. Kekerasan militer di Papua dilakukan dengan cara pembunuhan masal terhadap Bangsa Papua. (-+) 300.000 penduduk telah hilang tanpa bekas. Sehingga diperkirakan bahwa dari jumlah penduduknya 700.000 pada tahun 1960 dan (-+) 1.000.000 orang ditahun 1980, 30% jumlah dihilangkan secara tak manusiawi. Jumlah ini dapat diperoleh dari rincian sebagai berikut: yang selamat dari bom udara (-+) 80.000 orang, melarikan diri mengungsi (1984-1985) (-+) 13.000, dibunuh (-+) 13.000. Sehingga dapat ditotalkan (-+) 160.000. lalu ke mana yang lainnya pergi?

Sistem kesehatan untuk penduduk desa, dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk itu begitu cepat, secara langsung mupun tidak langsung, sebagai hasil kebijakan buatan manusia. Diawal tahun untuk menguasai teritori, kebijakan pemerintah Indonesia untuk melenyapkan kaum elite Papua yang telah menganyam pendidikan. Hal ini disebabkan adanya ketakutan pada kaum ini yang akan menghalangi proses integrasi. Program KB nasional yang menghendaki jumlah keluarga kecil juga merupakan cara licik bagi ras Papua. Genosida yang lebih mengerikan tapi tidak secara langsung adalah penghabisan pelayanan kesehatan, juga penyakit yang dapat dicegah tapi pasiennya dibiarkan saja hingga meninggal, translokal yang dipaksakan dari daerah pedalaman ke pesisir pantai yang lebih rawan terhadap ancaman penyakit malaria seperti: orang Amungme disekitar area PT. Freeport.

Cara lain adalah merampas tanah yang subur. Bahwa demi pengamanan modal pembangunan demikian diterapkan systematic violent, systematic killings and systematic destruction, yang kaibatnya bertujuang untuk genocide agar masyarakat pribumi jangan mengganggu pembangunan yang memihak kepentingan penguasa dan warga pendatang. Pertumbuhan demografi orang Papua ditekan dengan alasan demi suksesnya program nasional. Transmigrasi nasional dan transmigrasi spontan digalakan besar-besaran untuk menguasai dan menekan pertumbuhan orang Papua.

Hubungan sosial dan ekonomi Freeport dengan Papua Barat menunjukan catatan yang buruk. Motif untuk mendapatkan keuntungan semata, dan kebijakan pemerintah yang serba dari pusat menghasilkan sebuah situasi klasik dari ekploitasi kolonial. Freeport mengabaikan nilai moral dari tindakan pemerintah dan menganggap semua itu sebagai kekuasaan penuh untuk kepentingan pembangunan. Selama kurang lebih 25 tahun (1963-1988) para pemimpin Indonesia sikapnya tidak pernah bergeming terhadap budaya masyarakat Papua. Pada awal Indonesia diintegrasikan ke dalam Papua, Soebandrio menjelaskan bahwa kebijakan yang diterapkan Indonesia dapat diibaratkan “ untuk membuat mereka turun dari pohon, atau jika perlu dengan menyeret mereka” Kemudian, Daoed Yusuf, menteri pendidikan pada kabinet Soeharto pada waktu itu, mengatakan bahwa “pemerintah telah berusaha keras untuk memoderenkan masyarakat, tetapi butuh waktu untuk menghilangkan tradisi yang mereka anut” Pandangan kolonialis seperti itu dianut oleh sebagian pemimpin dan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Menurut Menteri luar negeri Indonesia Mochtar pada masa Orde Baru mengatakan bahwa orang-orang yang menganut paham seperti di atas itu dengan sendirinya adalah penanut rasisme dan tekanan militer.

Meskipun dalam tekanan militer, ada dua tokoh yang kembali menghidupkan gerakan permawanan tehadap Indonesia yaitu: pertama Aser Demotekay mendirikan atau membuat aktivitas yaitu: a) Menurut pesan-pesan spiritual bahwa pada masa mendatang Irian Jaya harus mencapai kemerdekaannya sebagai bangsa yang terakhir dan menuju kepada akhir dari jaman ini. b) Bahwa sebagai bangsa Papua yang persoalannya dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua itu sendiri adalah tidak adil, maka bangsa Papua harus diberikan kesempatan untuk merdeka lepas dari Indonesia dan untuk itu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia. Makna melibatkan bangsa Papua adalah dengan melibatkan anggota Nieuw Guinea Raad sebagai wakil bangsa Papua.

Kedua, Gerakan yang diketuai Terianus, menyusun kekuatan melawan pemerintah Indonesia baik secara politik maupun secara fisik bersenjata. Kegiatan ini diberi nama "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat". Gerakan yang dilakukan belum menggunakan senjata, melainkan menyusun suatu dokumen perjuangan yang ingin diselundupkan ke badan PBB di New York untuk menanyakan tentang status Papua Barat dan meminta meninjau kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962, karena para intelektual Papua, menilai tidak adil sebab tidak melibatkan wakil bangsa Papua dalam perundingan itu sebagai pihak yang dipersengketakan.

Dokumen yang dibuat Terianus juga berisi suatu rancangan tentang kemerdekaan Negara Papua Barat yang telah dilengkapi dengan susunan Kabinetnya dan struktur pemerintahan dan oleh Indonesia di sebut Organisasi Papua Merdeka. Namun sebelum dokumen rahasia itu antara lain juga berisi permintaan agar PBB segera membuka Sidang Umum untuk membahas kembali masalah Papua Barat, dan menyetujui serta mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat dan berdiri sendirisampai ke PBB, kegiatan rahasia ini terbongkar Terianus Aronggear di tanggap di biak pada tanggal 12 Mei 1965 dan Hendrik Joku, setelah mendengar berita tentang tertangkapnya Terianus Aronggear (SE), ia melarikan diri ke Papua New Guinea dan menginformasikan berita itu ke negeri Belanda kepada Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jaouwe.

Gerakan perjuangan Menuju Papua Barat merdeka yang sudah menginternasional melalui nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM, setelah tertangkapnya Terianus Aronggear para stafnya maka sebagai Panglima Perang secara tegas Fermenas Awon di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965 memegang kendali organisasi perjuangan atau OPM. Kekuatan gerakan perjuangan kemerdekaan Papua, dikendalikan oleh Tentara Nasional Papua (TPN). Gerakan perjuangan TPN merembes hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan meluas keseluruh Papua Barat.

Dari sini dapat ditarik suatu kesumpulan bahwa konflik yang terjadi di Papua Barat adalah konflik nasionalisme antara nasionalisme Indonesia dan Nasionalisme Papua yang menghendaki kemerdekaan Papua Barat. Dampaknya merembet luas terlihat sampai pada pelaksanaan pembangunan di Papua, upaya kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak aspiratif dan tidak sesuai karakter masyarakat setempat karena memuat muatan politik yaitu, untuk membendung atau membunuh nasionalisme Papua Barat. Namun nasionalisme jutru semakin tumbuh subur dan nampak di ekspresikan dalam berbagai bentuk perlawanan baik dengan bersenjata maupun melalui jalan damai, seperti ber demontrasi dan bahkan pengibaran bendera Bintang Kejora yang selalu memakan korban.

B. Saran
Hingga saat ini konflik nasionalisme antara mempertahakan Papua dalam kesatuan NKRI dan kelompok nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan masih terus terjadi. Di masalalu telah memakan banyak korban, maka perlua ada upaya mencari solusi penyelesaian melalui jalan damai. Dalam konteks ini membutuhkan dialog antara semua pihak dan terutama kedua belah pihak yang bertikai dengan menghadirkan pihak ketiga yang menjadi mediator. Sebagimana yang ditawarkan di tawarkan ELSAM Papua, melalui rekomendasinya untuk menjadi masukan bagi semua pihak yang ingin memberikan kontribusi pemikiran dan solusi pemecahan masalah sebagai upaya penciptaan keadilan dan perdamaian dalam rangka penghargaan terhadap harkat martabat manusia di tanah Papua adalah sebagai berikut:
a. Pihak pemerintah penjajah yaitu Indonesia yang didukung oleh TNI dan PORLI dan TPN OPM serta masyarakat Papua sudah saatnya untuk menghentikan berbagai kekerasan dalam bentuk apapun dan kepentingan apapun di tanah Papua Barat dan mencari solusi bersama secara damai, adil dan demokratis
b. Pemerintah penjajah yaitu Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat harus membuka diri, waktu, tempat dan mecari fasilitator yang menengahi rakyat Papua dengan pemerintah penjajah yaitu Indonesia guna menyelesaikan akar permasalahan pemicu kekerasan terhadap warga sipil di tanah Papua Barat.
c. pemerintah penjajah yaitu Indonesia harus segera menarik aparat militer baik pasukan organik maupun non organis dari seluruh tanah Papua Barat dn lebih kasus lagi dari Pegunungan Tengah karena sangat meresahkan dam merusak hak asasi manusia.
d. semua pihak yang terlibat dalam tindakan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat pada umumnya, dan di Pegunungan Tengah pada khususnya harap di adili melalui peradilan HAM ad hoc dan memberi perlindungan serta pertanggungjawaban hukum yang jelas bagi pihak keluarga dan masyarkat Papua pada umumnya.
Dengan begitu akan tampak jelas apa yang dikendaki masyarakat Papua Barat, dan juga apa yang dikehendaki Indonesia. Kalau sampai dialog terjadi dan orang Papua menghendaki referendum ataupun Pepera sebagaiman solusi yang menurut dia paling tepat, efektif, terhormat, bermartabat, sipatik, dan bermoral serta demokratis adalah:
a. Dialog Nasional (Rakyat Papua dengan Indonesia duduk bersama satu meja).
b. Dialog internasional (Rakyat Papua , PBB, Amerika, Indonesia, Belanda duduk bersama satu meja)
c. Meninjau kembali hasil PEPERA (1969)
d. Referendum ulang di Papua Barat secara demokrasi, jujur dan adil.
Resolusi itu berangkat dari peristiwa konflik nasionalisme antara nasionalisme Papua Merdeka dan NKRI yang selama bertahun-tahun telah menyebabkan adanya teror, intimidasi, pembunuhan sampai pembantaian masal semuanya dengan tujuan pengambilan atau perampasan hak-hak dasar orang Papua Barat. Resolusi di atas menjadi upaya pemecahan masalah untuk mencapai keadilan dan perdamaian dalam rangka penghargaan terhadap harkat martabat manusia di tanah Papua. Dengan demikian akan menguji hegemoni nasionalisme Indonesia bagi orang Papua Barat, apakah tetap mempertahanakan NKRI atau menghendaki Papua merdeka.
By Papuans

Read more...

Minggu, 01 Februari 2009

Sejarah Kelabu Papua Dalam Indonesia*

By Papuans**

Historiografi Indonesia masi menghadirkan historiografi parsial mengisahkan mengenai muatan politis-ideologis.[1] Di dalam penulisan sejarah seperti itu tampak dimana peritiwa sejarah bukan pergerakan nasional diabaikan dalam pembelajaran di sekolah. Hal itu tampak sebagai bukti penjajahan, karena dengan begitu, individu, kelompok masyarakat tertentu dianggap tidak memiliki sejarah atau dianggap tidak berhak memiliki sejarah[2] dalam historiografi Indonesia, bahkan lebih ekstrim lagi, sejarah masyarakat atau wilayah di Indonesia dianggap baru dimulai bersamaan dengan perlawanan mereka terhadap ekspansi militer, politik atau ekonomi bangsan Barat. Orang Dayak dan orang Papua misalnya dianggap tidak memiliki sejarah sebelum mereka berintegrasi dengan orang luar.[3] Sedangkan Kata Indonesia yang diperkenalkan G.W. Eart, J.R Logman dan Adolf Batian (Jerman) jauh sebelum sumpah Pemuda 1928 menyepakati identitas kebangsaan, namun hingga kini kebangsaan Indonesia belum tuntas, dan orang Papua saat itu tidak pernah terlibat dalam kegiatan ini. Sedangakan Indonesia sebagai negara modern baru diproklamasikan pada tahun 1945 dan saat itu Papua Barat, masih merupakan daerah yang diperdebatkan dan orang Papua tidak telibat juga dalam penentuan wilayah Papua. Sedangkan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia baru tahun tahun 1949 sebagai negara RIS (Federasi), minus Papua Barat. Tampak agak rancu, bilah dengan sejarah anakronis seolah-olah ada kesepakantan sejarawan, politikus dan negarawan menyepakati kesatuan Indonesia atas dasar Majapahit, Sriwijaya, Makassar pada masa Hasanudin, Maluku pada masa Pattimura, atau Cut Nyak Dien sebagai bagian dari sejarah Indonesia karena dijajah Belanda. Namun jangan lupa bahwa saat itu mereka tidak mengenal kata Indonesia, negara dan bangsa Indonesia.[4]

Menurut Bambang Widjojanto dalam buku Cahaya Bintang Kejorah, karya Junus Adijondro mengatakan bahwa selama ini tindakan penggelapan nasionalisme juga terjadi di berbagai wilayah lain. Seperti apa sih, nasionalismenya orang di seputar kepulauan Timur atau masyarakat adat di Kalimantan serta daerah lainnya? Dalam konteks Papua, kelompok terpelajar, bersama rakyatnya telah pembentuk 8 Patai politik, selanjutnya pada tanggal pada tanggal 16 Februari 1961 dibentuk Dewan Nieuw Guinea selesai dilantik untuk mengatur diri sendiri.[5] Kemudian tanggal 5 April 1961dilakukan pelantikan Dewan Nieuw Guinea serta menyepakati simbol kebangsaan dan kenegaraan Papua dan kemudian pada pada tanggal 1 Desember 1961 terjadi pengibaran Bendera, Bintang Fajar diiringi lagu kebangsaan ”Hai Tanahku Papua”. Dalam hal ini, Veldkamp Frits mengakui jiwa dan semangaat nasionalisme orang-orang Papua Barat. “ banyak orang Papua terpesona pada bayangan Nugini-Belanda kelak mandiri”.[6] Frits mengakui pula : “berbeda dengan saya, hadirin lain tahu, terutama beberapa anak muda mengucapkan pidato yang nasionalis dan bersemangat, menyambut gembira lahirnya Papua Barat (Irian Barat) yang merdeka”.[7]

Indonesia di Mata Orang Papua Krits

Integrasi Papua dalam pelukan ibu pertiwi Indonesia bagi orang Papua, tampaknya melahirkan beban sejarah, bilah melihat kenyataan Trikora (1961), perjanjian New York (1962) maupun Pepera (1969) dan resolusi PBB Nomor 2504 tampak bukan komitmen dekolonisasi untuk membebaskan rakyat Papua dari Penjajahan Belanda. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah proses Re- Kolonisasi Tanah Papua oleh Indonesia. Bangsa Papua adalah korban kospirasi politik “aneksasi” yang dilakukan oleh Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, dan Perserilatan Bangsa-Bangsa.[8] Pemerintah dan militer Indonesia tampak lebih berupaya keras agar orang Papua mengikuti kemauan Jakarta melepaskan identitas diri mereka dan mengakui simbol-simbol NKRI mewakili identitas kebangsaan orang Papua, seperti penggunaan bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya, Bahasa Indonesia, lambang negara Pancasila dan UUD 1945. Meskipun, simbol-simbol itu sama sekali tidak mewakili identitas mereka, namun tampaknya harus diterima agar tidak dilebeli separatis dan menjadi garapan militer Indonesia naik Pangkat setelah membunuh pejuang Papua. Upaya pemerintah dan militernya adalah orang Papua supaya menyangkal diri dan melupakan, identitas etnik dan budaya sendiri, melupakan sejarahnya, bahkan identitas negara mereka. Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, pemerintah Indonesia tampak memandang diri sebagai pejuang dan pahlawan yang datang untuk membebaskan orang Papua dari penjajahan Belanda. Sebaliknya tidak menutup kemungkinan orang Papua selalu melihat pemerintah Indonesia sebagai penajajah baru, imperialisme baru yang datang untuk membangun negara RI di atas negara Papua Merdeka yang telah mulai disiapkan.[9] Oleh karena itulah, maka pendudukan Indonesia atas wilayah Papua Barat dianggap sebagai wujud penjajahan. Sehingga sudah tentu rakyat Papua Barat mempunyai perasaan bahwa mereka sedang dijajah.[10] Seorang mantan pegawai pemda tingkat I Papua pernah mengatakan, bahwa penjajahan sebenarnya ialah pemerintah Indonesia yang telah menghalangi kemerdekaan orang Papua lalu menindas orang Papua hingga dewasa ini.[11]

Osborne (2001; 3000) melalui bukunya “Kibaran Sampari” menuliskan bahwa: Rakyat Papua Barat yang pernah dijajah Belanda dapat merasakan bahwa metode yang digunakan Indonesia dalam menganeksasi dan kemudian menjajah Papua Barat justru jauh lebih kejam dibandingkan Belanda.[12] Kekerasan militer yang terjadi sejak tahun 1961 dan seterusnya meninggalkan memoria passionos.[13] Seorang intelektual akademisi, M. Cholil, (1971) menjelaskan, bahwa operasi militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam rangka melakukan infiltrasi untuk menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya pemerintahan Belanda atas Papua Barat.[14] Sejak tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal Indonesia secara nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusup ke Papua. Wajah pertama Indonesia di Papua Barat diwakili oleh sepak terjang para pasukan infiltran ini.[15]

Penderitaan rakyat Papua Barat tampak mejadi bukti, Indonesia merebut Papua Barat dari tangan Belanda bukan merupakan apirasi atau keinginan kebanyakan orang Papua. Setelah Trikora, dilakukan Orde Lama, kemudian Amiruddin al Rahab[16] menjelaskan bahwa, Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua sebagai daerah kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan seperti itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam dan jajarannya mendominasi ranah politik dan jalannya pemerintahan di Papua. Papua dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).[17] Keinginan merdeka lepas dari penjajah masih melekat di hampir setiap rakyat pribumi Papua, karena selama berintegrasi martaban, harga diri dan Hak Asasi Mayarakat Papua Barat tidak dihargai dan dihormati secara wajar dan manusiawi. Dengan alasan demi pembangunan bangsa dan demi keutuhan negara kesatuan Indonesia, masyarakat Papua barat di intimidasi, diperkosa, dipukul, dan ditahan tanpa melalui proses hukum; bahkan dibunuh dan dibantai seperti mangsa yang diterkam harimau lapar.[18]

Yakubus Dumupa, “Berburu Keadilan di Tanah Papua Barat” menuliskan pembantaian yang telah menjadi buah bibir korban dan saksi yang kehilangan ayah, ibu dan kerabatnya akibat kekejaman brutal militer di Tanah Papua Barat, bahwa: Militer Indonesia adalah musuh kedua ke dua. Pemerintah menjalankan tujuan busuknya di Papua Barat dengan memakai militer sebagai barisan terdepan untuk melegalkan segala cara agar tujua itu dapat tercapai. Di Indonesia, yang mengakui negara demokrasi ini, peran militer sangant dominan. …banyak orang Papua yang telah dibunuh secara sengaja oleh Indonesia telah mencapai 100 ribu jiwa menurut perhitunagan Amnesti Internasional, tetapi menurut sumber lain hingga mencapai 1,5 juta jiwa. Jika saya boleh juga menghitung, maka menurut saya jublah rakyat Papua Barat yang telah dibunuh oleh Indonesia lebih dari 100 ribu jiwa. Alasan saya tidak terlalu muluk (sederhana), yaitu karena kedua jumlah tersebut itu merupakan jumlah yang pernah diketahuai didata, dan dihitung, sedangkan jumlah korban jumlah korban yang tidak pernah diketahui, didata, dan dihitung sangat banyak. Mereka di hilangkan, dibuang dikubur secata sengaja dan tersembunyi. Jumlah koran tidak bisa diketaui secara pasti karena keadaan alam Papua Barat yang sangat sulit dijangkau. Kondisi alam semacam ini sangat konduktif bagi aksi militer Indonesia, sehingga rakyat Papua Barat semakin kuat untuk mengungkap semua aksi pembunuhan rakyat Papua Berat oleh Indonesia. Aksi militer Indonesia di Papua Barat dijalankan dengan berbagai cara. Secara umum ada dua cara, yaitu secara terang-terangan dan (kasar dan keras) dan secar sembunyi-sembunyi (halus dan tersembunyi). Secara terang-terangan dan kasar militerIndonesia menjalankan aksinya dengan mudah. Mengapa? Karena militer Indonesia hanya menyatakan dan memberikan suatu julukan kepada calon mangsanya, yaitu seperti separatis/GPK/ TPN/OPM. Julukan ini sudah dangan sah menurut hukum militer Indonesia, sehingga tidakan selanjutnya adalah pembunuhan. Terkadang pembasmian dilakukan secara langsung (ditembak, ditikam, dan lain-lain), tetapi kadang secara pelahan yang didahului tindakan teror intimidasi, penyisaandan diakhiri dengan pembunuhan. Penyiksana yang dilakukan militer Indonesia dengan berbagai cara, di antara memasukan besi besi panas kedubur hingga tembus kekepala, memotong alat kemaluan pria dan wanita setelah diperkosa, mencopot jantung, merobek perut ibu hamil dan janin bayinya dipotong-potong, mebakar janggot pria dengan lilim, memotong salah satu daging bagian tubuh lalu dijadikan sate dan diberkan kepada seseorang untuk dimakan, dan tinfakan brutal lainnya. Semua itu merupakan kekejaman militer Indonesia terhadap rakyat Papua Barat. [19]

Osborne yang melakukan penelitian mendapatkan mendapatkan data yang dibuat oleh OPM, mengenai Operasi Tumpas yang dilakukan ABRI di Papua Barat. Detailnya, Osborne mencatat sebagai berikut: Tentara membakar rumah-rumah dan gereja-gereja di setiap desa yang dilewatinya. Babi serta ayam ditembak tanpa perasaan, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tidak bersalah ditembak dan dibunuh…Di kampung Dila, seorang kepalasuku bernama Nalogoan Kibak digorok bagai kambing dan darahnya ditampung dalam sebuah ember. Setelah itu, Letkol Soekemi- komandan militer untuk wilayah Nabire memaksa para pemuka suku, guru-guru dan pastor yang berada ditempat itu meminum darah tersebut dibawah todongan senjata seperti oleh perampok, tidak seperti layaknya prajurut yang tahu hukum perang. Di desa Kuyuwagi, tentara di bawah komando Kapten Rudy mengepung dan membombardir, bahkan setelah dibuhu dengan bayonet, perut orang-orang tersebut dirobek dan isinya dikeluarkan, kemudian dibelitkan ditongkat kayu seperti tali. Sesudah itu, batu, kubis, dan daun-daun dimasukan kedalam tubuh mereka, kemudian jasad mereka ditinggalkan seperti seperti layaknya binantang liar yang tidak ber jiwa. Para wanita yang sedang hamil dibayonet kemaluannya dan dirobek sampai bagian dada, dan bayi mereka dipotong menjadi dua bagian. Para lelaki yang telah ditembak, dipotong kemaluannya kemudian dimasukan kemulut para wanita, sedangkan dimulut para lelaki ditaruh kemaluan dan anus.[20]

Pengalaman dalam cengkraman militer Indonesia merupakan pengalaman pahit yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah Papua. Orang Papua merasa diperlakukan tidak sebagai manusia yang menjadi objek operasi militer.[21] Menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Semenjak Indonesia masuk ke tanah Papua, hampir tiap hari terjadi pelanggaran HAM. Papua telah dijadikan ladang pencarian kekayaan alam seperti emas, tembaga, minyak dan lain-lain. Selain itu di sana juga ada hasil hutan dan lahan kosong yang segera dipadati oleh orang luar. Akibatnya orang Papua sendiri disingkirkan dengan berbagai akal busuk. Banyak tahanan politik diperlakukan secara tidak manusiawi oleh polisi dan militer khususnya selam masa penahanan. Pihak militer Indonesia pun harus bertanggung jawab atas eksekusi ekstrayudisial dan penghilangan nyawa aktivis maupun para simpatisan Papua Barat dan Papua New Guinea.”[22] menurut data Dr. K Kees Lagerberg bahwa: “(-+) 300.000 penduduk telah hilang tanpa bekas. Sehingga diperkirakan bahwa dari jumlah penduduknya 700.000 pada tahun 1960 dan (-+) 1.000.000 orang ditahun 1980, 30% jumlah dilangkan secara tak manusiawi. Jumlah ini dapat diperoleh dari rincian sebagai berikut: yang selamat dari bom udara (-+) 80.000 orang, melarikan diri mengungsi (1984-1985) (-+) 13.000, dibunuh (-+) 13.000. Sehingga dapat ditotalkan (-+) 160.000. lalu ke mana yang lainnya pergi? Jika kita memerhatikan tingakat sistem kesehatan untuk penduduk desa, dapat disimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk itu begitu cepat, secara langsung mupun tidak langsung, sebagai hasil kebijakan buatan manusia. Diawal tahun untuk menguasai teritori, kebijakan pemerintah Indonesia untuk melenyapkan kaum elite Papua yang telah menganyam pendidikan. Hal ini disebabkan adanya ketakutan pada kaum ini yang akan menghalangi proses integrasi. Program KB nasional yang menghendaki jumlah keluarga kecil juga merupakan cara licik bagi ras Papua.”[23]

Pertumbuhan demografi orang Papua ditekan dengan alasan demi suksesnya program nasional. Transmigrasi nasional dan transmigrasi spontan digalakan besar-besaran untuk menguasai dan menekan pertumbuhan orang Papua. [24] Dr. K Kees Lagerberg, Genosida yang lebih mengerikan tapi tidak secara langsung adalah penghabisan pelayanan kesehatan, juga penyakit yang dapat dicegah tapi pasiennya dibiarkan saja hingga meninggal, translokal yangh dipaksakan dari daerah pedalaman ke pesisir pantai yang lebih rawan terhadap ancaman penyakit malaria seperti: orang Amungme disekitar area PT. Freeport. Cara lain adalah merampas tanah yang subur. Bahwa demi pengamanan modal pembangunan demikian diterapkan systematic violent, systematic killings and systematic destruction, yang kaibatnya bertujuang untuk genocide agar masyarakat pribumi jangan mengganggu pembangunan yang memihak kepentingan penguasa dan warga pendatang. pertumbuhan demografi orang Papua ditekan dengan alasan demi suksesnya program nasional. transmigrasi nasional dan transmigrasi spontan digalakan besar-besaran untuk menguasai dan menekan pertumbuhan orang Papua. [25]

Papua merupakan lumbung makanan, Indonesia itu takut akan kehilangan lumbung makanan dan berat melepaskan Papua Barat. Karena itu, jatuhnya ribuan korban tampak diakui aktivis Papua sebagai hukum revolusi, orang Papua justru bukan menghentikan gerakan memperjuangkan Papua merdeka, melainkan telah turut menyuburkan tumbuhnya semangat nasionalisme untuk keluar dari NKRI, dan semakin menya dari bahwa orang Papua memiliki hak menentukan nasib sendiri agar bisa menyelesaikan masalah HAM, ekonomi, pendidikan, sosial dan sebagainya yang selama ini dikuasai oleh penjajah dan memojokan orang Papua. Meskipun “Papua Barat harga mati NKRI” bagi jakarta, namun kemerdekaan bagi rakyat Papua juga nampaknya adalah menjadi harga mati yang terus diperjuangkan kelopok nasionalis dan seluruh lapisan masyarakat pro Papua merdeka, minus kaki tangan pemerintah Indonesia. Sehingga tampak konflik Politik Papua merupakan nasionalisme berdampak pada pembabangunan ekonomi, politik, pendidikan, budaya. Baru 8 tahun terakhir sejak bergulis Otonomi Daerah Indonesia tampak secara serius memperhatikan pembangunan Papua, tetapi tetap ada unsur ekonomi-politik dampak dari itu pembangunan kurang berpihak kepada penduduk asli Papua, yang terjadi malahan perang antar suku akibat pecah belah untuk membunuh kesadaran membangun nasionstate.




* Disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Citraleka, Ilmu Sejarah, Fakultas Sejarah USD, pada hari Sabtu 15 November 2008.

** Penelitih tentang Lahirnya Nasionalisme Papua Tahun 1961-1988.

[1] Bambang Purwanto. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris? Yogyakarta : Ombak, 2006,

Hlm. xiii

[2] Ibid. hlm. xiv

[3] Ibid. 35

[4] Ibid. hlm. xv.

[5] Socratez Sofyan Yoman. 2005. hlm, 39

[6] Pim Shoorl, Frits Veldkkamp. 2001 hlm. 528.

[7] Ibid, Pim Shcoorl, Frits Veldkkamp. 2001. hlm. 533.

[8] Yoris Raweyai. hlm. I

[9] Benny Giay. Menuju Papua Baru: Pokok-Pokok Pikiran Sekita Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Els-Ham Papua. 2001, hlm. 68

[10] Bunyying Time Diplomacy: Liku-Liku Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat (Kasus Suaka Politik Papua Barat di Australia), Yogyakarta Java Media, 2007, hlm 51

[11] Beny Giay, op.cit, hlm. 69-70

[12] Osborne, Kibaran Sampari, Jakarta: Elsham. 2001. hlm. 300.

[13] Theo van den Broek OFM dkk. Kondisi Hak Azasi Manusia Di Tanah Papua Serta Perkembangan Aspirasi Papua Merdeka Gambaran Tahun 1999. Jayapura: Sekertariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura. terbitan No.9 2000. “MEMORIA PASSIONIS” (Ingatan Penderitaan). Mengunjungi pelosok-pelosok tanah Papua, dengan mudah kita dapat mendengar kisah-kisah sejarah penderitaan yang keluar dari mulut masyarakat biasa. Ingatan rakyat dengan tajam dan jernih mencatat rekaman peristiwa-peristiwa ini: “Di sungai ini kami punya bapa dibunuh; di lereng gunung itu dulu ada sejumlah kampung yang dikasih habis sama ABRI; di lapangan itu tete moyang kami dulu dipaksa untuk membakar koteka karena dianggap primitif; gunung itu dulu kami punya sekarang orang sudah kasih rusak kami punya mama; dulu kami gampang cari binatang di hutan tapi sekarang kami tidak boleh masuk karena katanya milik perusahaan yang dilindungi Undang-undang negara; kami punya anak tidak bisa maju karena guru-guru di sekolah hampir tidak ada, susah dapat obat karena mahal; dsb. dst.” Cerita-cerita ini tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Nada dasar segala ungkapannya: “kami dinilai bukan manusia”. Artinya, “kami tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme, dsb. Itulah sudah”.

[14] Drs. M. Cholil, Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat, Puser ABRI - Dephankam, 1971.

[15] Amiruddin al Rahab, 2006, hlm 3.

[16] Peneliti di ELSAM, Jakarta dan inisiator Pokja Papua yang mendalami masalah hak asasi manusia dan militer serta politik lokal, spesialisasi masalah separatiseme dan gerakan perlawanan di Papua.

[17] Amiruddin al Rahab, op.cit. 2006, hlm 3. pada catatan kaki dikatakan bahwa, istilah ABRI atau TNI sangat terkait konteks waktunya. Dalam tulisan ini istilah itu dipakai saling bergantian. Bahkan juga dipakai istilah insitusi militer atau insituasi keamanan.

[18] Frits Bernard Ramandey, Generasi Tanpa Angkatan, Papua Barat: AJI – Papua, 2005, hlm 124.

[19] Yakobus F. Dumupa. Berburu Keadilan di Papua. Yogyakarta, Pilar Media, 2006. hlm, 166-170

[20] Osborne. Op.cit. 2001. hlm.149-150

[21] Benny Giyai, op,cit. 2000, hlm 8-9.Dalam pandangan Benny, hari merdeka itu adalah hari datangnya kebahagian sehingga penderitaaan tidak lagi menjadi hari-hari orang Papua. Selain itu, Benny juga meyakini bahwa hari itu akan datang sebagaimana kosmologi orang Papua yang meyakini bahwa waktu berputar antara susah menuju senang …

[22] MarkRumbiak Arwam. op,cit. 2003, hlm 128.

[23] Ibid. MarkRumbiak Arwam op,cit. 2003 “Kees Lagerberg, dalam catatan ini akan dibeberkan berbagai pembunuhan terhadap orang Papua. Meskipun tidak lengkap sama sekali. Berbagai kasus diperoleh dari berbagai sumber seperti tulisan yang dipublikasikan (buku, surat kabar, jurnal) laporan tertulis lisan dari para korban maupun para pengamat selama 30 tahun yang lalu.”

[24] Frits Bernard Ramandey, op.cit, 2005, hlm 124.

[25] Frits Bernard Ramandey, op.cit. hlm 124.

Read more...

Arnod AP

Arnod AP
Spririt Of Cultural Papua: Aku ingin rohku tetap hidup di bumi Mambesak, Papua.

Followers

Tan Malaka

Tan Malaka
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Namun, betapa tragisnya negara Indonesia, belum mengakui Tan Malaka sebagai Pahlawan revolusi kemerdekaan. Sampai saat ini ia dilupakan meskipun jasanya sangat besar bagi revolusi kemerdekaan di negeri ini.

Kalmarx

Kalmarx
Das Kapital

  ©Template by Dicas Blogger.